
Oleh:
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah
Suara di Masyarakat: Benarkah Marwan Bertanggung Jawab?
Saya menulis opini ini karena akhir-akhir ini, di warung kopi hingga ruang-ruang diskusi formal, perbincangan tentang Rektor USK semakin ramai dibicarakan. Baik dari kalangan kampus, praktisi hukum, hingga pelaku usaha pengadaan, banyak yang mempertanyakan: apakah Marwan bertanggung jawab atas kekisruhan dalam proyek FKIP?
Dengan sedikit pengetahuan dan pemahaman regulasi yang saya miliki, saya mencoba menyajikan ulasan ini dari sudut pandang hukum yang objektif.
Opini ini saya tulis sebagai kontribusi dalam diskursus publik, guna meluruskan berbagai tafsir dan menyudahi perdebatan yang selama ini bergulir di masyarakat:
Apakah Prof. Dr. Ir. Marwan, M.Sc., selaku Rektor Universitas Syiah Kuala, memiliki tanggung jawab hukum atas kekisruhan dalam proyek pembangunan Gedung FKIP Tahap II?
Perdebatan ini bukan hal remeh. Sebab yang dipersoalkan bukan sekadar progres fisik atau keterlambatan pembayaran—tapi menyangkut tata kelola, akuntabilitas, dan peran seorang Rektor dalam sistem keuangan negara. Maka saya merasa perlu menjawabnya secara terang, dengan dasar hukum, bukan asumsi.
Jabatan Rektor Bukan Sekadar Akademik — Ia Adalah Jabatan Negara
Prof. Dr. Ir. Marwan, M.Sc. diangkat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala sejak 27 Oktober 2022. Hanya sepekan sebelum itu — tepatnya pada 20 Oktober 2022 — Universitas Syiah Kuala resmi bertransformasi menjadi Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTNBH) berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2022.
Transformasi ini mengubah secara fundamental tata kelola kampus: memberikan otonomi lebih luas, tapi juga membebankan tanggung jawab hukum yang jauh lebih besar pada jabatan Rektor. Dalam sistem PTNBH, Rektor bukan hanya pemimpin akademik, tapi juga pemegang otoritas tertinggi dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk seluruh proses pengadaan barang/jasa.
Hal ini ditegaskan dalam:
Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2022 tentang PTNBH Universitas Syiah Kuala, Pasal 92 ayat (3),
Pasal 74 ayat (2)PP No. 4 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa Rektor PTNBH bertanggung jawab atas penggunaan dana dan pengelolaan keuangan,
Perpres 16 Tahun 2018 jo. Perpres 12 Tahun 2021, Pasal 11 ayat (1), yang menempatkan PA sebagai pihak yang wajib memastikan seluruh proses pengadaan sesuai regulasi, termasuk pelaporan ke APIP jika ada penyimpangan.
Dengan demikian, jabatan Marwan sebagai Rektor secara otomatis melekatkan tanggung jawab hukum administratif dan keuangan — bukan simbolik, tapi melekat langsung sebagai subjek hukum pengadaan negara.
Namun yang menjadi persoalan serius adalah ketika kita membandingkan standar tanggung jawab PA dalam Perpres 16/2018 dengan apa yang tertulis di dalam Peraturan Rektor USK Nomor 87 Tahun 2024, maupun Peraturan Rektor USK Nomor 54 Tahun 2023. Dalam Perpres, tanggung jawab PA diatur secara eksplisit, lengkap dengan kewajiban menetapkan kebijakan pengadaan, menunjuk pejabat pengadaan, mengawasi pelaksanaan kontrak, dan melaporkan temuan ke APIP.
Sebaliknya, baik dalam Peraturan Rektor Nomor 54 Tahun 2023 maupun Nomor 87 Tahun 2024, istilah “Pengguna Anggaran” justru tidak disebutkan sama sekali. Yang dimunculkan hanya istilah lokal seperti SUKPA, Kepala SUKPA, dan pejabat teknis lainnya.
Dengan tidak mencantumkan istilah dan fungsi PA secara eksplisit, maka struktur pertanggungjawaban yang telah digariskan dalam PP dan Perpres secara nyata telah dipreteli.
Ini bukan sekadar kekeliruan administratif, tapi berpotensi sebagai bentuk penghilangan tanggung jawab hukum yang disengaja. Padahal, tidak ada satu pun peraturan rektor yang boleh bertentangan, apalagi meniadakan norma yang diatur dalam Perpres atau PP. Peraturan Rektor harus menjadi pelaksana, bukan pengganti, peraturan hukum nasional.
Inilah yang harus dikritik keras: ketika standar nasional yang ketat dalam Perpres 16/2018 justru dipreteli dalam peraturan internal kampus demi menciptakan ruang aman bagi pemegang kekuasaan. Lebih dari itu, karena Peraturan Rektor bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah tentang PTNBH, maka setiap ketentuan yang bertentangan secara substansi maupun struktur dengan PP tersebut adalah cacat hukum. Dalam sistem hukum Indonesia, norma yang lebih rendah tidak sah secara hukum apabila bertentangan dengan norma yang lebih tinggi (asas lex superior derogat legi inferiori). Artinya:
Peraturan Rektor USK yang menghapus atau menghindari tanggung jawab PA sebagaimana diatur dalam PP dan Perpres, bukan hanya inkonstitusional secara administratif, tapi juga tidak sah secara hukum. Ia dapat dikesampingkan, dibatalkan, dan dianggap tidak berlaku. ketika standar nasional yang ketat dalam Perpres 16/2018 justru dipreteli dalam peraturan internal kampus demi menciptakan ruang aman bagi pemegang kekuasaan. ketika standar nasional yang ketat dalam Perpres 16/2018 justru dipreteli dalam peraturan internal kampus demi menciptakan ruang aman bagi pemegang kekuasaan.
Tanggung Jawab Itu Tidak Bisa Didelegasikan
Seringkali dalam praktik, Rektor berlindung di balik struktur teknis: KPA, PPK, atau Pokja. Tapi hukum tidak demikian. Perpres 16/2018 menegaskan bahwa Pengguna Anggaran (PA):
Menetapkan dan bertanggung jawab atas kebijakan umum pengadaan,
Bertanggung jawab atas hasil akhir pengadaan,
Harus mengambil tindakan korektif bila ada pelanggaran,
Tidak bisa melepaskan tanggung jawab melalui delegasi teknis atau administratif.
Maka ketika terjadi penyimpangan dalam proses pengadaan, pemutusan kontrak, atau pembayaran proyek — yang bahkan menimbulkan kerugian negara — tanggung jawab hukum pertama dan utama tetap melekat pada Rektor selaku PA.
Dialah yang Menunjuk Semua: Tanggung Jawabnya Melekat Total
Dan yang lebih menegaskan tanggung jawab hukum Marwan sebagai Rektor adalah fakta bahwa seluruh pejabat teknis pengelola proyek—mulai dari KPA hingga PPK—ditunjuk secara langsung oleh dirinya. Berdasarkan Keputusan Rektor Nomor 476/UN11/KPT/2024, Prof. Marwan menetapkan:
Prof. Dr. Taufiq Saidi sebagai KPA (Kuasa Pengguna Anggaran);
Dr. Ir. Suriadi, ST, MSc. sebagai PPK Pelaksana Konstruksi;
Ir. Rudiansyah Putra, ST, MSi. sebagai PPK Perencana dan Pengawas Konstruksi.
Maka tidak ada celah bagi Marwan untuk menghindar dari tanggung jawab struktural dan fungsional. Ia bukan hanya PA secara jabatan, tapi juga creator dari seluruh sistem dan aktor yang kini dipersoalkan publik dan hukum. Dialah nahkoda dari kapal pengadaan yang sedang karam.
Kewenangan Besar, Tanggung Jawab Lebih Besar
Dalam konteks hukum positif Indonesia, tanggung jawab Marwan tidak hanya bersifat administratif. Jika terdapat unsur kelalaian yang menimbulkan kerugian negara atau pelanggaran hukum dalam proses pengadaan, maka tanggung jawab tersebut dapat meluas ke ranah perdata maupun pidana.
Secara perdata, Marwan dapat digugat atas dasar perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata, karena kegagalannya menjalankan kewenangan PA sesuai hukum telah mengakibatkan kerugian bagi penyedia atau pihak ketiga.
Secara pidana, jika terbukti terdapat penyimpangan yang mengarah pada kerugian keuangan negara dan dilakukan dengan penyalahgunaan wewenang, maka Marwan dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan Pasal 3 dan/atau Pasal 9 UU Tipikor, khususnya terkait Kontrak Konsultan Pengawas Nomor 735/UN11.PBJ/SPK/PTNBH/2024 tanggal 15 Mei 2024. Kontrak tersebut terbukti fiktif, menyalahi peraturan jasa konstruksi, atau digunakan sebagai dasar pencairan dana tanpa pengawasan nyata, maka hal itu merupakan bentuk penyimpangan anggaran negara yang bisa berujung pada tindak pidana korupsi.
Dengan kata lain: jabatan Marwan bukan sekadar administratif, tapi juga sarat risiko hukum apabila digunakan secara keliru atau dengan membiarkan penyimpangan terjadi di bawah tanggung jawabnya.
Rektor USK tidak bisa hanya tampil di podium akademik, tapi menghindar dari pertanggungjawaban hukum saat kebijakan dan tindakan administratif di bawahnya merusak sistem. Ketika universitas melakukan:
Penyusunan aturan pengadaan (Peraturan Rektor USK) yang menyimpang dari PP dan Perpres,
Pengawasan dan pembayaran tanpa progres riil,
Hingga pemutusan kontrak tanpa dasar evaluasi formal,
Maka seluruh tindakan itu adalah bagian dari sistem yang disetujui, dikendalikan, dan dilindungi oleh otoritas Rektor.
Dan di sinilah letak persoalannya: kalau sistem pengadaan berjalan menyimpang, maka Rektor harus bertanggung jawab. Bukan hanya sebagai atasan, tapi sebagai Pengguna Anggaran yang sah.
Jabatan Adalah Amanah, Bukan Tameng
Jabatan tinggi seperti Rektor bukan pelindung dari hukum — justru harus menjadi pelindung terhadap penyimpangan hukum. Jika ada kekacauan dalam proyek pengadaan, jika ada pelanggaran administrasi, jika ada kebijakan menyimpang yang dirumuskan oleh universitas, maka tidak ada alasan hukum bagi Rektor untuk diam, apalagi cuci tangan.
Marwan adalah PA. Dan PA tidak bisa diam. PA tidak boleh membiarkan penyimpangan berjalan tanpa koreksi. PA adalah pintu terakhir sebelum hukum negara bicara.
Sebagai rakyat dan pemerhati pengadaan barang/jasa — Penulis hanya mengingatkan satu hal :
Di atas jabatan ada konstitusi.
Di atas kekuasaan ada pertanggungjawaban.
Simbol Pengkhianatan Publik
Maka pertanyaannya bukan lagi: “Apakah Rektor bertanggung jawab?”
Tapi: “Sampai kapan rakyat dan dunia akademik membiarkan jabatan suci seperti Rektor diselewengkan demi melindungi penyimpangan?”
Rektor Universitas Syiah Kuala hari ini berdiri bukan di atas panggung ilmiah, tapi di atas reruntuhan tanggung jawab yang sengaja dia diamkan. Ia bukan hanya membiarkan kekisruhan terjadi — ia adalah bagian darinya. Ia bukan hanya abai terhadap regulasi — ia merekayasa regulasi internal untuk mengaburkan tanggung jawabnya.
Jika itu bukan bentuk penyalahgunaan wewenang yang terstruktur, lalu apa namanya?
Kita sedang melihat bukan sekadar kegagalan administratif — tapi kehancuran etika pengelolaan kampus. Ketika kekuasaan akademik berubah jadi alat untuk menutupi jejak pelanggaran hukum, maka pendidikan telah dikorbankan di altar kekuasaan.
Marwan bukan hanya Rektor. Ia adalah Pengguna Anggaran.
Bukan hanya simbol akademik. Ia adalah pelaksana sistem hukum negara.
Bukan hanya penanggung jawab moral. Ia adalah subjek hukum pidana dan perdata.
Dan jika semua ini dibiarkan, maka kita semua sedang menyaksikan lahirnya tirani kampus — di mana jabatan tertinggi digunakan untuk memanipulasi sistem, menyingkirkan tanggung jawab, dan mempermalukan prinsip hukum.
**Karena jabatan bukan perisai dari dosa hukum.
Jabatan adalah amanah yang, bila dikhianati, akan karam bersama nama baik institusi yang dipimpinnya.**
Dan tampaknya, kapal itu kini sedang mulai tenggelam.