
Lubuk Linggau – mediamataelangindonesia.com || Di saat masyarakat berharap mendapatkan layanan kesehatan dasar yang cepat dan berkualitas, justru muncul kenyataan yang mengecewakan. Salah satu temuan menarik muncul dari laporan belanja UPT Puskesmas Citra Medika pada tahun anggaran terakhir. Melalui kegiatan bertajuk “Pelayanan dan Penunjang Pelayanan BLUD”, lebih dari Rp1,23 miliar dihabiskan hanya untuk mendukung operasional satu unit kerja Puskesmas.
Data yang diperoleh redaksi menunjukkan bahwa kegiatan tersebut hanya menghasilkan satu keluaran administratif: “1 unit kerja menyediakan pelayanan dan penunjang pelayanan.” Tidak ada rincian jumlah masyarakat yang terbantu, peningkatan kualitas layanan, atau indikator capaian kinerja lainnya. Dengan kata lain, anggaran sebesar itu hanya menghasilkan sesuatu yang seharusnya memang sudah menjadi kewajiban dasar.
Penggunaan istilah “penunjang pelayanan” memang terdengar teknokratis, namun justru di situlah letak persoalannya. Istilah ini terlalu umum, fleksibel, dan sulit dilacak efektivitas nyatanya. Dalam banyak kasus, nomenklatur seperti ini membuka celah untuk pengeluaran yang bersifat rutin, bahkan berpotensi fiktif.
Bukan hal baru jika dalam skema anggaran seperti ini muncul praktik-praktik seperti:
-
Pengadaan barang tanpa urgensi yang jelas
-
Belanja jasa tanpa hasil terukur
-
Pembayaran honor kegiatan dengan pelaporan normatif
-
Tumpang tindih pembiayaan antara APBD dan BLUD
Dalam catatan anggaran, awalnya kegiatan ini direncanakan menghabiskan dana sekitar Rp1,199 miliar. Namun, anggaran tersebut membengkak menjadi Rp1,232 miliar. Selisih Rp33 juta mungkin tampak kecil dalam konteks miliaran, tapi tetap patut dipertanyakan: untuk apa tambahan dana tersebut digunakan? Apakah ada urgensi? Di mana transparansinya?
Sebagai Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), Puskesmas memang memiliki keleluasaan dalam pengelolaan keuangan agar lebih lincah. Namun, fleksibilitas ini juga bisa menjadi celah bagi manuver anggaran yang sulit dikontrol publik. Terlebih jika Rencana Bisnis Anggaran (RBA) tidak terbuka atau tidak tersedia laporan hasil yang bisa diverifikasi masyarakat.
Jika dana sebesar Rp1,23 miliar hanya menghasilkan “1 unit kerja yang menyediakan pelayanan” tanpa indikator produktivitas atau peningkatan kualitas layanan, maka efektivitas penggunaan anggaran patut dipertanyakan. Secara hukum, mungkin sah. Tapi secara etika publik, hal ini bisa dianggap sebagai bentuk pemborosan — dan dalam konteks pengelolaan keuangan negara, itu adalah isu serius.
Uang negara, apalagi untuk sektor kesehatan, harus memberikan manfaat nyata bagi masyarakat — bukan sekadar menjadi angka dalam laporan keuangan.
Catatan Redaksi:
Berita ini disusun berdasarkan analisis terhadap data resmi anggaran yang tersedia untuk publik. Tidak ada maksud menuduh pihak mana pun melakukan pelanggaran hukum. Namun sebagai bagian dari kontrol sosial, publik berhak mempertanyakan efektivitas penggunaan dana layanan dasar, terutama yang menyangkut kesehatan masyarakat.
(HAR)