Oleh: Tgk.Subki Muhammad Bintang

MediaIndonesia.com-Jumat, 14 Agustus 2025. Dua puluh tahun sudah Aceh hidup tanpa dentuman senjata. Dua dekade lalu, darah yang membasahi tanah ini berhenti mengalir. Perjanjian damai di Helsinki menjadi lembar baru bagi sejarah Aceh. Tapi izinkan saya bertanya,damai ini milik siapa?

Saya melihat kenyataan pahit, damai ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit, mantan petinggi GAM yang kini duduk di kursi empuk, dikelilingi kemewahan dan pengaruh. Mereka hidup tenang, berfoto di podium, disambut karpet merah. Tapi di balik sorotan kamera, ada wajah-wajah yang dilupakan wajah mantan anggota GAM yang dulu rela berkorban demi cita-cita yang sama.

Banyak di antara mereka kini terbaring sakit bertahun-tahun. Ada yang tidak mampu membeli obat, ada yang tidak punya biaya untuk berobat ke rumah sakit. Rumah mereka reyot, dapur berasap hanya sesekali. Ironisnya, tak ada pejabat yang datang mengetuk pintu mereka, tak ada “saudara seperjuangan” yang menengok. Mereka hidup seperti bayang-bayang, hanya disebut ketika masa perjuangan dikenang, lalu dilupakan di masa damai.

Dulu, saat konflik, mereka adalah pahlawan. Kini, di masa damai, mereka seakan menjadi beban yang tak diakui. Apakah ini makna dari perjuangan? Apakah ini wujud dari “Aceh sejahtera” yang dulu diimpikan?

Perdamaian yang hanya menguntungkan sebagian orang adalah perdamaian yang pincang. Damai bukan sekadar tanda tangan di atas kertas atau pidato manis di panggung perayaan. Damai sejati adalah ketika semua merasakan manfaatnya, dari elit hingga rakyat jelata, dari petinggi hingga prajurit, dari kota hingga pelosok desa.

Hari ini, dua dekade damai menjadi pengingat bahwa kita sedang gagal menjaga kemanusiaan itu sendiri. Kalau kita terus menutup mata pada penderitaan mereka yang pernah berjuang, jangan salahkan siapapun ketika rasa percaya mulai luntur.

Damai ini harus kembali kepada rakyat, kepada para mantan pejuang yang terlupakan, kepada anak-anak korban konflik, kepada janda-janda yang membesarkan anak sendirian. Sebab tanpa keadilan, damai hanyalah ilusi — indah di luar, rapuh di dalam.

Dua puluh tahun damai, tapi apakah hati kita juga damai?

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *