
Oleh : Dr. Muhammad Aminullah.M.A
(Ketua bidang Pendidikan PBA Pusat)
Pendidikan dayah telah menjadi warisan panjang yang tak terpisahkan dari peradaban Aceh. Sejak awal masuknya Islam ke Tanah Rencong, dayah memainkan peran sentral dalam pembinaan akhlak, keilmuan, dan kepemimpinan masyarakat.
Pembelajaran di dayah berlangsung melalui sistem talaqqi, yaitu metode belajar langsung antara santri dan guru dalam satu majelis. Dari sistem inilah lahir para ulama dan tokoh agama gampong seperti Teungku Imum, Imum Syik Masjid, dan Teungku Rangkang yang menjadi pilar masyarakat.
Dayah pada masa Kesultanan Aceh merupakan lembaga pendidikan yang menyeluruh. Tidak hanya mengajarkan ilmu agama seperti tauhid, fiqih, dan tasawuf, tetapi juga mencakup ilmu pertanian, ekonomi, kemaritiman, pertahanan, hingga teknologi.
“Dayah dulu adalah pusat kemajuan. Santri belajar bukan hanya untuk menjadi ulama, tapi juga menjadi ahli di berbagai bidang. Nilai-nilai ini harus dihidupkan kembali untuk menjaga karakter generasi Aceh,” ujarnya.
Ketika sistem pendidikan kolonial diperkenalkan oleh Belanda melalui Sekolah Rakyat (SR), masyarakat Aceh mulai mengenal pendidikan formal ala barat. Sejak saat itu, pendidikan di Aceh berjalan dalam dua jalur: dayah dan sekolah.
Kini, di tengah tantangan globalisasi dan krisis moral generasi muda, kolaborasi antara sekolah dan dayah menjadi kebutuhan yang mendesak. Sekolah menghadirkan keilmuan dan teknologi, sementara dayah menguatkan karakter dan spiritualitas.
Kolaborasi ini bukan hanya penting, tapi menjadi jalan utama untuk menyelamatkan karakter masyarakat Aceh dari degradasi nilai.
Pemerintah daerah, pengelola sekolah, dan pimpinan dayah diharapkan dapat merancang sinergi yang konkret dan berkelanjutan demi menciptakan generasi Aceh yang unggul dalam ilmu dan mulia dalam akhlak.
Adapun problematika yang terjadi selama ini, jika peserta didik tidak masuk sekolah saat jam sekolah dan tidak belajar di dayah saat jam belajar di dayah terus melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam bentuk kenakalan remaja, maka siapa yang bertanggung jawab. Contoh kasus, peserta didik sudah keluar rumah untuk masuk sekolah, namun tidak hadir di sekolah. Begitu juga, sudah pamit dari rumah untuk belajar di dayah, namun tidak hadir di dayah, maka siapa yang bertanggung jawab.
Dengan demikian untuk sama-sama adanya tanggung jawab dan terkontrol, seharusnya sangat diharapkan adanya kolaborasi dan kontrolisasi bersama antara pihak lembaga pendidikan sekolah dengan pihak lembaga pendidikan dayah. Supaya peserta didik tersebut dapat terkontrol dengan baik dan bersama.
Sebagaimana tuntutan orang tua mengharapkan anaknya dapat menguasai dua bentuk ilmu yaitu ilmu umum dan agama. Maka dalam hal ini saya melihat, tidak perlu di sekolah menambahkan kurikulum dayah dalam jam belajar, dan tidak perlu menambahkan kurulikulum sekolah di dayah, namun cukup membentuk kerjasama antara lembaga sekolah dengan lembaga dayah yang ada di gampong tersebut, selanjutnya harus ada pendataan di sekolah maupun di dayah secara pasti bagi setiap peserta didik, yaitu kepala sekolah harus tahu anak didiknnya malamnya belajar di dayah mana. Begitu juga pimpinan dayah harus memastikan anak didikanya saat pagi sekolah dimana.
Jika kedua tidak jelas, maka harus ada teguran yang tegas kepada peserta didik tersebut. Baik dari pihak sekolah maupun dari pihak dayah. Sehingga setiap peserta didik dapat terkontrol dengan baik terhadap kegiatan wajib belajar baginya.