WhatsApp Image 2025-04-19 at 00.30.32

Oleh:
Teuku Abdul Hannan
Pemerhati Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah

Pemutusan kontrak dan blacklist terhadap CV. Jurongme Company oleh Universitas Syiah Kuala bukan hanya tindakan administratif. Ini adalah bentuk arogansi pengadaan, yang menabrak aturan, mengabaikan prinsip keadilan, dan mencerminkan betapa belum dipahaminya filosofi dasar pengadaan barang/jasa pemerintah oleh sebagian penyelenggara negara.

CV. Jurongme Company mengerjakan pembangunan lanjutan Gedung FKIP Tahap II berdasarkan kontrak yang sah, lengkap dengan tiga addendum. Masa pelaksanaan berakhir 17 Desember 2024. Namun, satu hari kemudian, PPK USK mengeluarkan surat pemutusan kontrak, dan—lebih mengejutkan—langsung mencantumkan CV. Jurongme ke dalam daftar hitam (blacklist).

Tanpa peringatan. Tanpa berita acara evaluasi final. Tanpa proses klarifikasi. Tanpa mekanisme keberatan. Langsung jatuh vonis.

Saya menulis ini karena prihatin terhadap rusaknya sistem pengadaan akibat kesewenang-wenangan prosedural.

Blacklisting Bukan Sekadar Tulisan: Itu Stempel Matinya Usaha

Sanksi blacklist dalam dunia konstruksi adalah vonis sosial dan ekonomi. Itu artinya penyedia: dilarang ikut tender di seluruh instansi, dicap tidak layak usaha, praktis “dimatikan” secara administratif.

Tindakan seperti ini harus melalui standar tertinggi pembuktian wanprestasi berat, bukan sekadar “progres belum 100%”.

Apa Kata Hukum?

Pasal 78 Perpres No. 12 Tahun 2021 tegas: keterlambatan pekerjaan dapat dikenai sanksi denda atau pemutusan kontrak (ayat 3–4), blacklist hanya berlaku jika terbukti wanprestasi berat seperti penipuan, manipulasi, pengulangan pelanggaran (ayat 5).

Lantas, apakah CV. Jurongme melakukan wanprestasi berat? Tidak. Yang terjadi hanyalah keterlambatan progres, yang bahkan masih dalam proses penghitungan bersama konsultan pengawas.
Standar Ganda yang Mencolok

PPK menjatuhkan sanksi berdasarkan Perpres, tetapi saat disanggah, berpindah dasar hukum ke Peraturan Rektor No. 54 Tahun 2023. Ini pelanggaran serius atas prinsip konsistensi norma dan hirarki peraturan.

Saat sanggahan menyebut bahwa progres sedang dihitung dan akan dirapatkan kembali, PPK beralasan penyedia tidak mengajukan permohonan perpanjangan, seolah menutup mata terhadap komunikasi dan kesepakatan yang belum selesai.

Tidak ada prosedur resmi blacklist yang dijalankan sesuai Peraturan LKPP No. 4 Tahun 2021. Surat blacklist diselipkan begitu saja dalam surat pemutusan kontrak.

Melanggar Hierarki Hukum: Peraturan Rektor Bukan Dalil

Yang membuat lebih miris, PPK Universitas Syiah Kuala menjadikan Peraturan Rektor sebagai tameng hukum.

Padahal, dalam hierarki peraturan menurut Pasal 7 UU No. 12 Tahun 2011, peraturan rektor tidak dapat melampaui bahkan memperluas tafsir dari Perpres, apalagi mengatur sanksi berat seperti blacklist.

Menggunakan peraturan rektor untuk menjatuhkan hukuman berat bukan hanya menyesatkan, tetapi melanggar asas legalitas dan akuntabilitas pengadaan.

Kita Tidak Bisa Diam

Kita tidak bisa membiarkan pengadaan barang/jasa pemerintah dijalankan seperti kerajaan kecil oleh segelintir oknum yang merasa berkuasa. Setiap penyedia punya hak hukum, dan setiap pejabat wajib tunduk pada aturan, bukan hanya pada rasa berkuasa.

Jika dibiarkan, praktik semacam ini akan menjadi preseden buruk bagi ribuan penyedia lain yang suatu saat bisa menjadi korban: bukan karena salah, tapi karena dilenyapkan tanpa proses.

Tindakan pemutusan kontrak dan pencantuman blacklist terhadap CV. Jurongme tidak bisa dilepaskan dari tanggung jawab struktural para pejabat di Universitas Syiah Kuala. Sebagai Rektor sekaligus Pengguna Anggaran (PA), Prof. Dr. Marwan, M.Sc., memegang peran sentral dalam pengawasan kebijakan pengadaan. Demikian pula dengan Dr. Taufiq Saidi, M.Eng.Sc., selaku Wakil Rektor IV merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), serta Dr. Surhadi, S.T., M.Sc., IPM., ASEAN.Eng., sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang menerbitkan langsung surat pemutusan kontrak dan menetapkan sanksi blacklist. Ketiga nama ini harus ikut mempertanggungjawabkan keputusan administratif yang keliru, baik secara hukum maupun secara etika institusi akademik.

Ironisnya, ketiga nama ini menyandang gelar akademik tertinggi sebagai guru besar. Namun, tindakan mereka mencerminkan cara berpikir yang tidak besar. Bukan mengedepankan asas keadilan, musyawarah, dan kepatuhan terhadap norma hukum, melainkan memilih jalan pintas pemutusan dan hukuman sepihak. Mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi prinsip keilmuan dan konstitusionalitas, justru mempraktikkan logika kekuasaan administratif yang sempit dan menyesatkan. Kampus tidak boleh dibiarkan dipimpin oleh kebijakan yang tunduk pada ego, bukan pada etika dan hukum.

Penutup: USK, Masihkah Sarang Pendidik atau Sudah Menjadi Sarang Pelanggar Hukum?

Saya, Teuku Abdul Hannan, menyatakan bahwa tindakan blacklist terhadap CV. Jurongme adalah cacat hukum, cacat etika pengadaan, dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar keadilan administratif.

Universitas Syiah Kuala—kampus kebanggaan Aceh—seharusnya menjadi sarang para pendidik, bukan sarang pelanggar prinsip hukum. Kampus ini seharusnya menjadi benteng rasionalitas dan kejujuran, bukan justru tempat di mana kekuasaan pengadaan dijalankan semena-mena dan menyimpang dari norma.

Jika keputusan seperti ini lahir dari ruang akademik, maka pertanyaan publik sangat sah untuk diajukan:
Apakah Universitas Syiah Kuala masih menjadi pusat peradaban hukum dan ilmu, atau justru telah menjelma menjadi pusat pembenaran kesewenang-wenangan?

Kalau pengadaan saja bisa dipelintir seenaknya, lalu apa yang sedang ditanamkan kepada mahasiswa? Keteladanan atau kebiasaan menyingkirkan yang lemah?

Saya mengajak LKPP, APIP, dan para akademisi hukum administrasi negara untuk turut bersuara: kita tidak sedang mengurus barang, kita sedang mengatur kehidupan usaha dan keadilan hukum.

Sebagai pemerhati pengadaan barang/jasa, saya menyatakan dengan terang dan terbuka: saya tidak akan diam melihat kampus yang saya junjung tinggi justru mencederai hukum dan martabat dunia pengadaan. Ini bukan sekadar kritik—ini adalah deklarasi perlawanan terbuka terhadap praktik zalim yang dilakukan oleh pengelola Universitas Syiah Kuala. Saya, Teuku Abdul Hannan, menyatakan bahwa saya akan berdiri di barisan terdepan membela CV. Jurongme Company. Saya akan mendukung, membimbing, dan memperjuangkan hak-hak penyedia ini sampai ke ujung forum hukum, publik, dan moral. Dan kepada USK: jika ini adalah medan yang kalian pilih, maka izinkan saya menjadikannya arena pertarungan intelektual dan etika. Perang ini bukan soal proyek—ini soal kehormatan profesi dan kebenaran hukum.@

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *