WhatsApp Image 2025-05-22 at 09.06.58

Lubuk Linggau – Ketika masyarakat berharap layanan kesehatan dasar yang cepat dan berkualitas, justru muncul realitas yang seolah berjalan di tempat. Salah satu temuan menarik berasal dari belanja UPT Puskesmas Citra Medika tahun anggaran terakhir. Lewat kegiatan berjudul “Pelayanan dan Penunjang Pelayanan BLUD”, dana lebih dari Rp1,23 miliar digelontorkan untuk mendukung kinerja satu unit kerja Puskesmas saja.

Dari data yang dikantongi redaksi, kegiatan ini hanya mencantumkan output administratif: “1 unit kerja menyediakan pelayanan dan penunjang pelayanan”. Tidak ada rincian berapa banyak masyarakat terbantu, seberapa signifikan kualitas layanan meningkat, atau indikator capaian kinerja lainnya.
Dengan kata lain, angka besar itu hanya menghasilkan sesuatu yang… sudah seharusnya terjadi.

Penggunaan istilah “penunjang pelayanan” terdengar teknokratis, tapi justru di situlah persoalannya. Kategori ini terlalu umum, terlalu fleksibel, dan terlalu sulit dilacak ke efektivitas nyatanya. Dalam banyak kasus, nomenklatur seperti ini sering menjadi ruang leluasa bagi pengeluaran-pengeluaran yang sifatnya rutin, bahkan terkadang fiktif.
Bukan hal baru jika dalam skema semacam ini, terjadi praktik-praktik seperti:

Pengadaan barang tanpa urgensi tinggi
Belanja jasa tanpa hasil terukur
Honor-honor kegiatan dengan pelaporan normatif
Atau tumpang tindih pembiayaan antara APBD dan BLUD
Dalam catatan anggaran, awalnya kegiatan ini direncanakan menelan dana sekitar Rp1,199 miliar. Namun entah kenapa, kemudian membengkak menjadi Rp1,232 miliar. Selisih sebesar Rp33 juta mungkin tampak kecil dalam skala besar, tapi tetap patut dipertanyakan: untuk apa tambahan itu digunakan? Adakah urgensi? Adakah transparansi?
Sebagai Badan Layanan Umum Daerah, BLUD memang diberi keleluasaan mengelola keuangan agar lebih gesit. Namun, di sisi lain, fleksibilitas ini juga bisa menjadi pintu masuk bagi manuver anggaran yang sulit dikontrol publik. Apalagi jika tidak ada keterbukaan RBA (Rencana Bisnis Anggaran) atau tidak ada laporan hasil yang bisa diverifikasi masyarakat.
Jika Rp1,23 miliar hanya menghasilkan “1 unit kerja yang menyediakan pelayanan”, tanpa tolak ukur produktivitas atau indikator peningkatan layanan, maka efektivitas anggaran dipertanyakan. Secara hukum mungkin sah, tapi secara publik bisa disebut sebagai pemborosan anggaran, yang dalam konteks pengelolaan keuangan negara, tetap menjadi isu serius.
Uang negara, apalagi untuk kesehatan, harus dirasakan manfaatnya secara nyata — bukan hanya tercetak rapi dalam dokumen laporan.
Catatan Redaksi:Berita ini disusun berdasarkan analisis terhadap data resmi anggaran yang tersedia untuk publik. Tidak ada maksud menuduh pihak mana pun melakukan pelanggaran hukum. Namun sebagai bagian dari kontrol sosial, publik berhak mempertanyakan efektivitas penggunaan dana layanan dasar, apalagi jika menyangkut kesehatan masyarakat.

(HAR)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *