IMG-20251109-WA0139

Mataelang Indonesia.com

PIDIE JAYA — Pagi itu, Sabtu 8 November 2025, embun masih membasahi pucuk-pucuk padi di persawahan yang mengelilingi sebuah rumah pemondokan sederhana. Namun, kedamaian alam yang biasa menyelimuti kawasan itu pagi itu terasa berbeda. Udara sejuk yang berhembus seakan ikut membawa beban rasa haru, mengiringi detik-detik perpisahan antara keluarga tuan rumah dan para anggota Kafilah Kabupaten Pidie usai mengikuti Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) ke-37 tingkat Provinsi Aceh.

Sepekan lamanya, rumah itu hidup oleh lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an, tawa, dan diskusi para qari dan qariah. Kini, ia harus kembali pada kesunyiannya. Sejak mentari belum tinggi, halaman rumah telah dipenuhi oleh para peserta kafilah dan seluruh anggota keluarga tuan rumah. Senyum salam yang mereka tukarkan tak mampu lagi menutupi gemuruh sedih yang sudah mulai menggelora di dalam dada.
Ikatan yang Terjalin Melebihi Sekadar Tamu
Dalam waktu yang relatif singkat, ikatan yang terbentuk di antara mereka bukan lagi sekadar hubungan tuan rumah dan tamu. Rumah sederhana milik Sri Laila Khaldi dan keluarga itu telah berubah menjadi rumah kedua bagi Kafilah Pidie. Para qari dan qariah disapa akrab oleh anak-anak di rumah itu dengan panggilan “Abang” dan “Kakak”. Mereka berbagi cerita, berbagi makanan, dan berbagi semangat, seolah telah menjadi satu keluarga yang dipersatukan oleh cinta yang sama pada Al-Qur’an.

“Rumah kami bagai disinari cahaya Ilahi selama mereka di sini,” ucap Rida, salah seorang tuan rumah, suaranya parau menahan haru. Matanya yang berkaca-kaca mencerminkan kekosongan yang akan segera dirasakannya. “Setiap sudut rumah ini bergema dengan tilawah. Tidur kami terlelap dengan lantunan merdu mereka, dan kami terbangun olehnya. Kepergian mereka bukan sekadar kepergian tamu, tapi seperti anak-anak kami sendiri yang akan merantau.”
Sungguh menambah rasa ikatan, dengan adanyapemberian bingkisan kepada awak kerja dan tuan rumah oleh Kadis Syariat Islam Kabupaten Pidie.

Rangkaian Acara: Dari Kalam Ilahi hingga Syair Penuh Air Mata
Acara perpisahan dibuka dengan pembacaan Kalam Ilahi yang dilantunkan oleh salah seorang qari. Suaranya yang merdu dan penuh penghayatan segera menyapu seluruh ruangan, mengingatkan semua yang hadir akan alasan utama mereka berkumpul: karena Allah dan Kitab-Nya.

Hj. Dahliani, mewakili keluarga, kemudian menyampaikan sambutan. Dengan suara yang bergetar, ia mengungkapkan rasa syukur dan bangganya bisa menjadi bagian dari perjalanan spiritual para duta Al-Qur’an ini. “Kalian telah membawa berkah yang tak terhingga. Kami mungkin hanya memberikan tempat bernaung yang sederhana, tetapi kalian memberkahinya dengan ayat-ayat suci. Doa kami menyertai setiap langkah kalian,” katanya, disambut isak tangis para hadirin.

Suasana kemudian sedikit mencair dengan sesi berbalas pantun. Pantun-pantun yang dilontarkan penuh makna, berisi ungkapan terima kasih, kenangan manis, dan doa agar silaturahmi ini tetap abadi. Tawa kecil sesekali terdengar, mencoba mengusik kesedihan yang mulai merayap.
Namun, suasana haru itu mencapai puncaknya ketika Tgk. Tantawi, salah seorang anggota kafilah, maju membacakan syair perpisahan. Dengan suara gemetar dan air mata yang tak tertahankan, ia merangkai kata-kata yang menyentuh relung hati paling dalam, menggambarkan betapa berartinya setiap momen kebersamaan yang telah mereka lewati. Saat itulah, bendungan air mata tak bisa tertahan lagi. Para ibu mengusap mata dengan kain, sementara para qari dan qariah saling berpelukan, berbisik maaf dan terima kasih.
“Setiap pertemuan pasti ada perpisahannya,” ucap seorang tuan rumah dengan nada lembut, mencoba menenangkan. “Tapi pertemuan yang dirahmati Allah, perpisahannya pun penuh makna dan doa. Semoga Allah mempertemukan kita kembali di Jannah-Nya.”

Fragmen Haru: Pertanyaan Polos dan Makanan Penuh Cinta

Di tengah-tengah suasana yang mendayu-dayu itu, sebuah fragmen kecil semakin mengukir kesedihan lebih dalam. Seorang anak kecil, putra tuan rumah, menarik-narik baju ibunya dan bertanya dengan polos, “Mak, Abang sama Kakak mau ke mana? Kenapa pada nangis?”
Pertanyaan lugu itu menyentak semua orang. Dengan suara lirih dan mata yang juga basah, sang ibu menjawab, “Mereka pulang, Nak. Mereka telah menyelesaikan tugas suci mereka di sini. Mereka kembali ke keluarganya, membawa kebanggaan dan juga doa-doa kita.”
Momen lain yang tak terlupakan adalah komentar singkat dari Bapak Rusdi, S.Sos., MM, perwakilan kafilah, tentang keramahan tuan rumah. “Kami tidak akan pernah melupakan segala perhatian dan kasih sayang yang diberikan. Dan yang pasti,” ujarnya diselingi senyum kecil, “makanannya ‘hana cilet-cilet’ (tidak pernah kurang).” Ucapan sederhana itu menggambarkan kepuasan dan rasa terima kasih yang mendalam atas segala upaya tuan rumah membuat mereka merasa seperti di rumah sendiri.
Akhirnya, Kendaraan pun Berangkat
Setelah doa bersama dan pelukan terakhir, saat yang tak terelakkan pun tiba. Satu per satu anggota kafilah memasuki kendaraan mereka. Dari balik jendela, mereka melambaikan tangan, wajah-wajah mereka basah oleh air mata. Keluarga tuan rumah berdiri berjajar di halaman, membalas lambaian itu sambil menatap hingga kendaraan perlahan menjauh, menyusuri jalan di antara hamparan sawah.
Suara deru mesin kian melemah, lalu hilang ditelan senyap. Rumah pemondokan itu kini kembali sunyi. Hanya kenangan yang tersisa: gema tilawah, tawa, dan obrolan hangat di malam hari.

“Cahaya itu telah pergi,” bisik Sri, seorang anggota keluarga, memandang ke arah jalan yang telah sepi. “Tapi kehangatannya akan tetap hidup di sini,” tambahnya sambil menunjuk ke dada. “Mereka bukan hanya meninggalkan kenangan, tapi juga semangat dan keberkahan yang akan terus menyinari rumah ini.”

Perpisahan pagi itu bukanlah akhir. Ia adalah sebuah babak baru dalam sebuah ikatan ukhuwah yang telah dibangun di atas landasan cinta kepada Al-Qur’an. Sebuah ikatan yang dijanjikan untuk takkan pernah putus, dirawat oleh doa dan harap untuk suatu hari nanti bertemu kembali dalam naungan ridha Ilahi. Dan di tengah heningnya sawah, angin pagi seakan berbisik, mengabadikan kisah haru ini dalam setiap helai nafasnya.

Berikut kutipan pantun Rida sebagai Tuan Rumah menambah rasa haru para Rombongan Kafilah yang akan meninggalkan pemondokan selama Perhelatan MTQ tingkat Provinsi di Pidie Jaya.

Hawa keu kanji tajak u Caleue,
Hawa Sie keubeu na di Pasai Mutiara.
Abeh si Minggu geutanyoe Meueu eu.
Udep beu meupeu geutanyoe meusyedara.

Ie Krueng Meureudu ile meucrek crek,
Bak Papeun sikrek dara rah ija.
KA padum uroe tuto sikrek dua krek,
Beu jeut ta pakek keu Budi bahasa.

Uroe ngoen malam supot ngoen suboh,
Geutanyoe Meu jroh jroh ulon bahagia.
Ureung droe neuh beut di dalam rumoh,
Sang di beudoh rumoh meucahya.

Hana teurasa jinoe geutanyoe meupisah
Ureung droe kasah KA neujak bungka.
Selamat jalan rombongan kafilah,
Sarjani Abdullah neupeutroh haba.

Ditulis : Sri Laila Khaldi,S.Pd.,M.Pd
(Guru SMA Negeri 1 Meureudu)

Editor : St. Aisyah 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *