Oleh : MJ.Eric Novi Karno

Manusia adalah makhluk paling sempurna yang diciptakan Tuhan, diberi akal, hati, dan nafsu. Namun, dalam keseharian di muka bumi, manusia justru kerap terjebak dalam lingkaran dosa. Ironinya, banyak manusia hidup dengan wajah seakan tanpa salah, meski dalam kenyataannya penuh noda. Inilah wajah kepura-puraan: tampak bersih di luar, tetapi kotor di dalam.

Fenomena ini nyata kita jumpai dalam kehidupan sosial. Tidak sedikit yang menampilkan dirinya sebagai pribadi paling suci, paling hebat, dan paling berkuasa. Namun, perilakunya justru menampakkan keserakahan, kemunafikan, dan kesombongan. Manusia berlari mengejar harta, jabatan, dan pujian, seolah dunia ini abadi. Mereka lupa, kemuliaan sejati bukanlah apa yang terlihat, melainkan apa yang tersimpan di hati dan diwujudkan dalam tindakan nyata.

Lebih menyakitkan lagi, mulut manusia kerap menjadi senjata paling berbahaya. Lisan yang seharusnya dipakai untuk kebaikan, justru dipenuhi fitnah, adu domba, iri, dengki, serta kata-kata yang melukai. Tidak sedikit yang menggunakan mulut layaknya “perempuan setan dan iblis” — merayu, menjerat, lalu menghancurkan keharmonisan sesama. Akibatnya, masyarakat terpecah belah, persaudaraan hancur, dan kebencian merajalela.

Dalam lingkaran inilah lahir generasi yang merasa pintar, padahal hanya sok pintar. Mereka berteriak paling benar, tetapi tak mampu memberi solusi. Mereka tampil percaya diri di depan khalayak, namun di baliknya hanya meninggalkan jejak keserakahan. Pertanyaan sederhana pun muncul: apa yang sudah diperbuat untuk sesama, selain menumpahkan ambisi pribadi demi kepentingan diri sendiri?

Padahal, manusia seharusnya menyadari bahwa hidup bukan tentang siapa yang paling berkuasa, siapa yang paling kaya, atau siapa yang paling disanjung. Hidup adalah tentang manfaat: seberapa besar kita mampu memberi kebaikan untuk orang lain, menjaga lisan dari dusta, serta mengendalikan hati dari kesombongan.

Kehebatan sejati tidak diukur dari pakaian mewah, kekayaan berlimpah, atau gelar panjang. Kehebatan sejati hadir ketika manusia mampu menundukkan egonya, mengendalikan nafsunya, dan menyalurkan kekuatannya untuk kebaikan bersama. Itulah jalan menuju kemuliaan yang sesungguhnya.

Kini, dunia semakin jenuh dengan wajah-wajah kepura-puraan. Masyarakat muak dengan sosok yang selalu mengklaim dirinya paling hebat, paling benar, dan paling layak dihormati. Sejarah telah menunjukkan: kesombongan hanyalah jalan menuju kehancuran.

Oleh karena itu, setiap manusia perlu bercermin kembali. Jangan hanya sibuk menunjuk salah orang lain, sementara diri sendiri tak pernah diperbaiki. Jangan hanya ingin dihormati, sementara sikapnya merendahkan. Dan jangan hanya mengejar dunia, sementara akhirat dilupakan.

Kesimpulannya jelas: manusia boleh hebat, tetapi jangan angkuh. Manusia boleh pintar, tetapi jangan sombong. Manusia boleh kaya, tetapi jangan serakah. Karena pada akhirnya, semua topeng akan runtuh. Yang tersisa hanyalah amal baik, lisan yang menyejukkan, dan hati yang bersih untuk dipertanggungjawabkan di hadapan Sang Pencipta.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *